Kolaborasi Lintas Instansi dalam Pelepasliaran Kukang Jawa
Pelepasliaran delapan individu kukang jawa (Nycticebus javanicus) ke kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2025. Proses ini dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon bekerja sama dengan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Tujuan utama dari pelepasliaran ini adalah memastikan transisi kukang jawa dari pusat rehabilitasi menuju habitat aslinya berjalan lancar dan berkualitas.
Kepala Balai TNUK, Ardi Andono, menyampaikan bahwa kolaborasi multi-instansi sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup satwa liar. Ia menekankan perlunya partisipasi aktif dari berbagai pihak dalam upaya menjaga kelestarian satwa yang dilindungi. “Dengan tidak memburu, memperjualbelikan, maupun memelihara satwa liar secara ilegal,” tambahnya.
Delapan ekor kukang yang dilepasliarkan terdiri dari lima betina dan tiga jantan. Mereka berasal dari berbagai daerah, termasuk wilayah kerja BBKSDA Jawa Barat, BKSDA Yogyakarta, serta Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga. Beberapa di antaranya memiliki latar belakang yang unik, seperti Ipeh yang diserahkan oleh warga dalam kondisi terluka akibat tersengat listrik. Agam, satu-satunya yang kehilangan satu jarinya karena sengatan serupa, tetap menunjukkan kemampuan lokomosi yang baik. Anoda mengalami luka bakar di beberapa bagian tubuh dan memiliki mata kiri yang tampak berkabut, namun kondisi tersebut tidak mengganggu penglihatannya secara signifikan.
Menurut Agus Arianto, Kepala BBKSDA Jawa Barat, semua kukang telah menunjukkan perilaku alami dan respons adaptif setelah menjalani tahapan observasi kesehatan dan perilaku. Mereka siap menjalani masa habituasi sebelum kembali ke habitat alaminya. Proses translokasi dilakukan pada pagi hari untuk mengurangi stres dan menjaga kondisi fisiologis satwa. Perjalanan dimulai dari pusat rehabilitasi YIARI di Bogor, kemudian dipindahkan ke kandang habituasi berbahan dasar jaring dan bambu di kawasan TNUK yang berada dalam zona perlindungan intensif.
Manajer Animal Management YIARI, Nur Purba Priambada, menjelaskan bahwa proses habituasi bertujuan agar kukang jawa bisa beradaptasi sebelum dilepasliarkan. Proses ini memberi waktu bagi mereka untuk memulihkan diri pasca transportasi dari pusat rehabilitasi ke tempat pelepasliaran sembari mengenali lingkungan barunya. Dalam lima hari, penyesuaian lingkungan berlangsung dengan pemantauan ketat oleh tim gabungan Balai TNUK dan BBKSDA Jawa Barat, didukung oleh YIARI sebagai tenaga teknis rehabilitasi.
Lokasi pelepasliaran juga telah ditentukan berdasarkan survei yang mempertimbangkan ketersediaan pakan alami, populasi kukang liar yang rendah, serta jauh dari pemukiman warga. Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul, menegaskan pentingnya kolaborasi dan kesadaran publik dalam upaya pelestarian primata endemik Indonesia. Menurutnya, pelepasliaran bukanlah akhir dari proses konservasi, melainkan bagian penting dari perjalanan panjang yang melibatkan banyak pihak.
Berdasarkan data IUCN, kukang jawa (Nycticebus javanicus) adalah primata endemik Pulau Jawa yang kini berstatus “terancam punah” dan termasuk Appendix I CITES. Seluruh perdagangan kukang jawa dilarang secara hukum di Indonesia, dan satwa ini telah ditetapkan sebagai hewan dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018.


























































