FOMO dan FOBO: Ketakutan yang Mengikat Generasi Digital
Di era digital yang semakin berkembang, banyak orang merasa cemas ketika tidak terhubung dengan media sosial atau kehilangan akses internet. Perasaan ini sering kali dianggap sepele, namun sebenarnya mencerminkan dinamika emosional yang kompleks dalam kehidupan modern.
Apa Itu FOMO?
FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out, adalah perasaan cemas yang muncul ketika seseorang merasa ketinggalan informasi, momen, atau pengalaman yang sedang dialami orang lain. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Dan Herman pada akhir 1990-an dan kemudian populer melalui studi psikologi media oleh Andrew Przybylski pada 2013.
FOMO sangat erat kaitannya dengan penggunaan media sosial. Ketika seseorang melihat unggahan pesta, konser, liburan, atau pencapaian teman, mereka bisa merasa bahwa kehidupan orang lain lebih menyenangkan. Dalam laporan Journal of Behavioral Addictions (2016), FOMO dikaitkan dengan penggunaan media sosial berlebihan, kecemasan sosial, dan penurunan kepuasan hidup. Orang merasa harus selalu update untuk tidak tertinggal.
Di Indonesia, tren ini juga terlihat jelas. Laporan We Are Social dan Hootsuite (2024) menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk media sosial mencapai 3 jam 17 menit per hari. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna merasa terdorong untuk terus terkoneksi, bahkan saat tidak ada urgensi.
Apa Itu FOBO?
Jika FOMO berkaitan dengan ketertinggalan informasi, maka FOBO (Fear of Being Offline) lebih ekstrem. Ini adalah ketakutan saat seseorang benar-benar tidak bisa terhubung dengan internet. Gejala FOBO termasuk kecemasan berlebihan, panik, dan kesulitan fokus karena tidak bisa online.
Psikolog klinis dari Universitas Gadjah Mada, Dra. Anna Surti Ariani, M.Si, menjelaskan bahwa ketergantungan terhadap koneksi internet dan media sosial menyebabkan munculnya gangguan kecemasan baru, salah satunya FOBO. “Kecanduan digital bukan hanya soal durasi, tapi tentang bagaimana seseorang merasa tidak bisa hidup tanpanya,” ujarnya dalam seminar daring tahun 2023.
Bagi pelajar dan pekerja digital, ketakutan ini sering muncul karena khawatir akan kehilangan kabar penting, tugas, atau peluang. Namun, tanpa disadari, kecemasan ini juga menguras energi mental dan melemahkan kemampuan untuk hadir secara penuh di kehidupan nyata.
Mengapa Fenomena Ini Meningkat?
Salah satu penyebab utama munculnya FOMO dan FOBO adalah tekanan sosial yang tidak disadari. Kehadiran media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang selalu produktif, bahagia, dan bersosialisasi. Algoritma platform memperkuat dorongan untuk terus mengikuti apa yang sedang terjadi. Keterlambatan melihat suatu konten bisa menimbulkan perasaan tertinggal.
Selain itu, budaya real-time yang ditawarkan oleh berbagai platform seperti Instagram Story, WhatsApp Status, dan Twitter (X) memperkuat keinginan untuk terus terhubung. Tekanan ini juga diperparah oleh kebutuhan validasi. Banyak orang merasa dihargai ketika mendapatkan likes, komentar, atau views. Tanpa itu, sebagian merasa keberadaannya kurang berarti.
Dampak pada Kesehatan Mental
Studi dari University of Essex (2022) menemukan bahwa FOMO berkorelasi dengan peningkatan stres, gangguan tidur, dan kecemasan. Sedangkan FOBO dapat memperparah gejala nomophobia, yaitu ketakutan berlebihan saat tidak memegang ponsel. Kedua kondisi ini juga mengganggu kemampuan seseorang untuk fokus, membangun hubungan nyata, dan merawat keseimbangan emosional.
Pada jangka panjang, keterikatan digital yang tidak sehat bisa mengganggu performa akademik, hubungan personal, hingga produktivitas kerja. Menjadi terlalu terikat dengan dunia maya berisiko menggeser prioritas hidup ke arah yang tidak disadari.
Bagaimana Mengatasi FOMO dan FOBO?
Mengelola FOMO dan FOBO membutuhkan kesadaran diri dan batasan digital yang sehat. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Lakukan detoks digital berkala, seperti tidak membuka media sosial selama beberapa jam atau sehari penuh.
- Batasi notifikasi hanya untuk hal penting agar tidak terdistraksi terus-menerus.
- Fokus pada kehadiran nyata, seperti menikmati momen tanpa merekam atau memposting secara langsung.
- Kembangkan minat di luar layar, misalnya membaca buku, berjalan kaki, atau berkegiatan kreatif.
- Kenali bahwa tidak semua hal harus diketahui, dilihat, atau dibagikan dapat menjadi langkah awal menuju ketenangan.
Seperti yang diungkapkan oleh penulis Carl Honoré dalam bukunya In Praise of Slow (2004), “Semakin kita melambat, semakin kita hadir sepenuhnya.” Ketika dunia digital menawarkan koneksi tanpa henti, kemampuan untuk menahan diri justru menjadi bentuk keberanian baru.
FOMO dan FOBO bukanlah aib, melainkan cerminan tantangan manusia modern yang terus belajar menyeimbangkan hidup. Karena terkadang, untuk benar-benar terhubung, kita justru perlu memutus sejenak.