Peran Pansus dan Kepentingan Transparansi dalam Kasus PT BDS
Dalam menghadapi berbagai isu hukum dan politik yang melibatkan perusahaan daerah seperti PT Bandung Daya Sentosa (BDS), seorang praktisi hukum, Januar Solehuddin, SHI.,MH.,C.Med, menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus tersebut. Ia menilai bahwa langkah-langkah yang diambil oleh lembaga legislatif harus disertai dengan pengawasan ketat dari masyarakat agar tidak hanya menjadi formalitas belaka.
Menurut Januar, pembentukan Panitia Khusus (Pansus) oleh DPRD Kabupaten Bandung merupakan bagian dari fungsi pengawasan yang diatur dalam undang-undang. Pansus memiliki kewenangan untuk membuka tabir persoalan BUMD yang bersentuhan langsung dengan keuangan daerah dan uang rakyat. Hal ini menjadi tugas penting bagi lembaga tersebut dalam menjaga keseimbangan antara pemerintahan dan kepentingan publik.
Januar memberikan beberapa rekomendasi terkait fokus Pansus DPRD, antara lain:
- Membuka transparansi tata kelola PT BDS, khususnya kontrak dan perjanjian bisnis yang melibatkan dana besar.
- Merekomendasikan perbaikan tata kelola BUMD agar kasus gagal bayar tidak terulang.
- Mendorong aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti indikasi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
- Melindungi kepentingan publik serta menciptakan iklim investasi yang kondusif di Kabupaten Bandung.
Kasus PT BDS, menurut Januar, tidak bisa dipandang sekadar sebagai wanprestasi atau gagal bayar. Ini menyangkut akuntabilitas keuangan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap BUMD. Oleh karena itu, Pansus harus bekerja dengan serius, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan.
Di sisi lain, kuasa hukum PT BDS meminta Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung untuk memberikan akses terhadap dokumen perusahaan yang telah disita, yang diperlukan dalam sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Januar menilai bahwa permintaan ini tidak bisa serta-merta dikabulkan atau ditolak. Ada dua kepentingan hukum yang sah, yaitu hak debitor untuk membela diri di forum perdata dan kewajiban kejaksaan untuk menjaga keutuhan barang bukti pidana.
Dalam hukum PKPU, debitor memang berhak menyajikan dokumen untuk membela diri, sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Namun, dokumen yang sudah disita penyidik berstatus barang bukti sesuai Pasal 39 ayat (1) KUHAP, sehingga tunduk pada prinsip chain of custody.
Januar menekankan bahwa kejaksaan tidak bisa sembarangan menyerahkan dokumen karena Pasal 44 KUHAP menegaskan barang bukti hanya dapat digunakan dengan izin penyidik atau penuntut umum. Namun, jalan tengah bisa ditempuh, seperti:
- Memberikan salinan resmi terbatas.
- Menghadirkan pejabat kejaksaan di persidangan PKPU untuk menyajikan dokumen, sebagaimana dimungkinkan Pasal 43 KUHAP.
Prinsipnya, hak debitor tetap dihormati, tetapi kepentingan publik dalam penegakan hukum pidana juga tidak boleh dikorbankan. Jangan sampai mekanisme PKPU dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab pidana.
Januar menambahkan bahwa kasus PT BDS bukan sekadar sengketa utang piutang, melainkan juga menyangkut potensi kerugian keuangan daerah. Seluruh langkah hukum harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel sesuai amanat UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Ini menjadi ujian serius bagi DPRD maupun kejaksaan dalam menjaga kredibilitas dan profesionalisme. Penegakan hukum harus hadir secara substantif, bukan sekadar formal. Dengan demikian, publik kini menanti: apakah Pansus DPRD dan langkah Kejari Kabupaten Bandung benar-benar akan menghadirkan transparansi dan pembenahan BUMD, atau hanya berhenti pada formalitas prosedural.