HARIAN BOGOR RAYA – Pemutusan hukum Presiden Prabowo Subianto dengan memberikan penghapusan hukuman kepada Tom Lembong dan pengampunan kepada Hasto Kristiyanto serta 1.116 tahanan lainnya, menunjukkan salah satu langkah hukum yang paling penting pada awal kepemimpinannya.
Tindakan ini telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI, namun masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: Apakah ini bentuk pengampunan dengan alasan keadilan, atau sebuah langkah politik yang menyimpan tujuan lebih dalam?
Untuk menjawabnya, kita perlu terlebih dahulu memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan abolisi dan amnesti, serta bagaimana dampaknya dalam situasi politik dan hukum di tingkat nasional.
Pembatalan: Penghentian Proses Sebelum Akhir
Pembatalan adalah tindakan hukum yang menghentikan proses peradilan sebelum mendapatkan putusan tetap (inkracht). Dalam konteks Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dihukum 4,5 tahun penjara, pembatalan berarti status hukuman pidananya dibatalkan, dan proses hukum yang sedang berlangsung menjadi tidak sah. Artinya, pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan penegakan hukum terhadap kasus tersebut.
Secara teori, penghapusan hukuman bisa dianggap sebagai tindakan luar biasa dalam situasi yang luar biasa. Namun, ketika diterapkan terhadap seorang tokoh politik atau mantan pejabat, muncul pertanyaan dari masyarakat: Apakah ini bentuk keadilan yang nyata atau sekadar hasil dari kesepakatan kekuasaan?
Amnesti: Pengampunan Kolektif
Berbeda dengan penghapusan hukuman, pengampunan diberikan kepada seseorang atau kelompok yang telah dihukum oleh pengadilan. Pada kasus Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, pengampunan mencabut hukuman penjara selama 3,5 tahun. Pengampunan umumnya diberikan atas dasar politik atau rekonsiliasi nasional, dan sering kali digunakan dalam masa transisi pemerintahan atau pasca-konflik.
Namun, dalam kondisi Indonesia saat ini yang tidak sedang dalam keadaan darurat atau pasca-konflik, pemberian pengampunan kepada lebih dari seribu orang tentu bukan hal yang biasa. Terlebih jika tujuannya adalah figur yang memiliki peran penting di dalam partai besar.
Pertanyaan Etis dan Politik
Tindakan Presiden Prabowo memang berdasarkan hukum. UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan penghapusan hukuman dan pengampunan dengan persetujuan DPR. Namun, dalam negara demokratis, keabsahan hukum tidak selalu mencerminkan keabsahan moral.
Apakah keputusan ini sepenuhnya bertujuan untuk rekonsiliasi dan kemanusiaan, atau justru bagian dari perhitungan politik demi menjaga stabilitas kekuasaan? Apakah ini bentuk penyesuaian terhadap kekuatan oposisi atau tindakan balasan atas dukungan dalam Pemilu 2024? Di sinilah pentingnya masyarakat untuk mengamati secara kritis.
Selanjutnya, pemberian penghapusan hukuman dan pengampunan kepada tokoh politik dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap sistem hukum. Jika pengampunan hanya diberikan kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan, maka hukum akan dianggap tidak adil, bahkan bersifat transaksional.
Kebutuhan Transparansi dan Akuntabilitas
Di tengah meningkatnya harapan masyarakat terhadap integritas hukum, keputusan pengampunan semacam ini seharusnya diiringi dengan penjelasan yang jelas dan rasionalisasi hukum yang bersifat transparan. Mengapa Tom Lembong? Mengapa Hasto Kristiyanto? Apa dasar kemanusiaan atau politiknya?
Tanpa penjelasan yang cukup, masyarakat berpotensi kehilangan keyakinan terhadap lembaga hukum dan keadilan. Dapat pula muncul pandangan bahwa pengampunan hanya menjadi alat politik untuk menjaga kohesi koalisi atau mengurangi ancaman lawan.
Penutup: Pengampunan Tidak Boleh Terlepas dari Etika Publik
Presiden memang memiliki kewenangan untuk memberikan penghapusan hukuman dan pengampunan. Namun, dalam negara demokratis, kekuasaan selalu perlu diuji melalui etika masyarakat dan tanggung jawab politik. Tanpa hal tersebut, pengampunan dapat berubah menjadi kelalaian.
Saat ini, masyarakat sedang menantikan penjelasan yang lebih jelas, bukan hanya terkait hukum, tetapi juga mengenai pedoman etika dari kekuasaan yang sedang berlangsung.