Kehidupan Pribadi Ustaz yang Tidak Sesuai dengan Ajaran Agama
Kabar mengejutkan datang dari dunia dakwah di Indonesia. Ustaz Evie Effendi (EE), seorang penceramah yang dikenal dengan label ‘gaul tapi saleh’ atau ‘gapleh’, kini resmi menjadi tersangka atas dugaan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini menjadi sebuah ironi yang mengguncang publik, karena EE selama ini dikenal sebagai figur agama yang membimbing umat menuju jalan yang benar.
Ironisnya, sang tokoh yang setiap hari memberikan ceramah tentang nilai-nilai moral dan etika, justru diduga melanggar ajaran dasar agama yaitu kasih sayang dan perlindungan terhadap keluarga. Hal ini memicu pertanyaan besar mengenai kualitas moral para tokoh agama di tengah sorotan publik.
Kontradiksi Antara Penampilan dan Perilaku
EE, yang dikenal dengan gaya dakwah santai dan bahasa yang mudah dipahami oleh kalangan muda, kini harus berhadapan dengan pasal pidana setelah dilaporkan oleh mantan istrinya atas dugaan kekerasan yang dialami putranya sendiri, NAS (19 tahun).
Dunia dakwah yang selalu menekankan pentingnya akhlakul karimah (budi pekerti luhur) seolah runtuh oleh fakta di lapangan. KDRT yang mencakup kekerasan fisik dan verbal, diduga terjadi saat korban mendatangi rumah ayahnya untuk menuntut hak nafkah.
Bukannya menyelesaikan masalah secara damai atau menjadi teladan kebapakan, NAS justru diduga menerima perlakuan brutal. “Korban dipukul di kepala, diludahi, dan dikata-katai kasar oleh ayahnya sendiri. Ibu sambung, paman, dan bibi korban juga ikut terlibat,” ujar kuasa hukum pelapor dengan nada kecewa.
Menguji Integritas Figur Publik
Penetapan EE beserta tiga kerabatnya—ibu sambung (DS), bibi (LS), dan paman (IK)—sebagai tersangka oleh Satreskrim Polrestabes Bandung menjadi sinyal bahwa kemampuan retorika tidak menjamin integritas moral. Publik kini dihadapkan pada pertanyaan krusial: sejauh mana kita harus menaruh kepercayaan pada seseorang yang piawai menata kata-kata suci, namun gagal menata perilaku?
Pasal-pasal UU KDRT yang menjerat sang ustaz ini membuktikan bahwa jargon-jargon hijrah dan ‘gapleh’ hanyalah kosmetik publik jika tidak diiringi dengan praktik nyata di ranah privat. Jika figur yang seharusnya menjadi cermin dan teladan justru menjadi pelaku kekerasan, maka pantas saja jika kepercayaan masyarakat terhadap institusi keagamaan ikut terkikis.
Respons Warganet Terhadap Kasus Ini
Kabar ditetapkan EE sebagai tersangka mendapat respon beragam dari warganet. Komentar-komentar pedas membanjiri kolom komentar Instagram @infojawabarat. “Tong gede hulu, tadz..Bisi teu asup helm,” tulis akun @chsndra*. “Eta mah lain ustadz tapi lebih ka stand up komedian berbalut agama,” timpal akun @wan. “Hah, serius? Padahal seneng banget denger beliau ceramah. Kayak memotivasi gitu,” tulus akun @vina** seolah tak percaya.
Proses Hukum Berjalan Tanpa Kompromi
Meskipun Evie Effendi belum ditahan, Polrestabes Bandung memastikan proses hukum akan berjalan tanpa kompromi. Sikap tegas pelapor yang menolak mediasi adalah bentuk perlawanan terhadap budaya impunitas (kebal hukum) yang seringkali menaungi tokoh-tokoh populer.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang menggunakan label agama sebagai tameng atau profesi. Paham agama seolah-olah menjadi komoditas, sementara perilaku sehari-hari jauh dari ajaran. Penegakan hukum harus berlaku adil: tidak ada tempat bagi kekerasan dalam rumah tangga, bahkan di balik sorban sekalipun.


























































