Pentingnya Literasi Gizi dalam Pendidikan
Peningkatan kesadaran akan pentingnya gizi menjadi isu yang semakin mendesak. Hal ini memicu Badan Gizi Nasional (BGN) untuk mengusulkan pemasukan pendidikan gizi ke dalam kurikulum sekolah. Namun, usulan tersebut mendapat penolakan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sehingga menimbulkan kekecewaan dari BGN.
Seorang pakar gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Lailatul Muniroh SKM M Kes, turut menyampaikan pandangan terkait pentingnya membentuk generasi yang sehat melalui literasi gizi. Ia menekankan bahwa asupan nutrisi anak tidak boleh dianggap remeh. “Anak harus diberikan ilmu tentang gizi seimbang sejak dini,” ujarnya dalam pernyataannya.
Menurutnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang saat ini digagas pemerintah tidak cukup jika hanya berdiri sendiri. “Kita tidak bisa mengandalkan MBG jika makanan yang disajikan tidak mencerminkan gizi seimbang. Anak-anak perlu tahu mengapa mereka harus makan makanan sehat serta dampak dari kekurangan zat gizi makro maupun mikro,” jelasnya.
Faktor lain yang juga menjadi perhatian adalah peran para ibu sebagai pengampu utama dalam konsumsi keluarga. Banyak dari mereka tidak tahu apakah makanan yang diberikan melalui program MBG memenuhi kebutuhan gizi atau tidak. Oleh karena itu, pendidikan gizi tidak boleh dianggap sebagai program sementara, melainkan sistem yang terstruktur dan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran.
Pendidikan Gizi dalam Berbagai Mata Pelajaran
Pendidikan gizi dapat hadir dalam berbagai mata pelajaran seperti IPA, melalui pembahasan tentang makronutrien, Bahasa Indonesia dengan narasi literasi pangan, hingga PJOK lewat proyek penyusunan menu sehat dan pengamatan kantin sekolah. Konsep yang digunakan adalah pendidikan kontekstual, di mana anak tidak hanya mengenal nama sayur, tetapi juga memahami alasan mengapa mereka harus memilih makanan tersebut.
Selain itu, pendidikan gizi juga perlu dibingkai sebagai keterampilan hidup (life skill) yang mendekatkan anak pada kesadaran pangan dan gaya hidup preventif sejak dini. Dengan demikian, anak akan lebih sadar akan pentingnya makanan sehat dan cara mengatur pola makan.
Sinergi Antarsector untuk Mewujudkan Kurikulum Berbasis Gizi
Mewujudkan kurikulum berbasis gizi bukanlah tugas satu sektor saja. Dibutuhkan sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, dan keluarga. Proses ini memerlukan kesiapan guru, kurikulum yang kontekstual, serta kebijakan yang adaptif terhadap kondisi lokal.
“Kita tidak ingin anak-anak hanya tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya,” tambahnya. Pendidikan gizi dianggap sebagai investasi jangka panjang. Jika diabaikan hari ini, anak-anak akan membayar mahal di masa depan dalam bentuk stunting, penyakit metabolik, hingga produktivitas yang rendah.
Dengan demikian, pendidikan gizi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan agar generasi mendatang memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup untuk menjaga kesehatan dan kualitas hidup mereka.