Ancaman Serius terhadap Taman Nasional Gunung Ciremai
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) kini mengalami ancaman yang sangat serius. Selama tiga tahun terakhir, diduga telah terjadi praktik penyadapan getah pinus ilegal yang merusak ekosistem hutan konservasi. Hal ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mengurangi fungsi hutan sebagai paru-paru bagi Kabupaten Kuningan.
Pertanyaannya, mengapa praktik ilegal ini bisa berlangsung begitu lama? Siapa saja yang mendapatkan manfaat dari pembiaran tersebut? Seorang pakar hukum ternama akhirnya memberikan pernyataan yang mengejutkan dan menuntut adanya kejelasan serta tindakan tegas terhadap pelaku.
Ancaman Hukum yang Jelas, Mengapa Pelaku Masih Bebas?
Prof. Dr. Suwari Akhmaddhian, seorang pakar hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi ini. Menurutnya, sudah ada aturan hukum yang jelas melarang penyadapan getah pinus tanpa izin. Aturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf e dan f yang melarang pemungutan hasil hutan tanpa izin serta jual beli hasil hutan ilegal.
Selain itu, Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Kehutanan mengancam para pelaku dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga memberikan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun hingga 5 tahun serta denda antara Rp500 juta hingga Rp5 miliar.
Namun, pertanyaan besar tetap muncul: jika aturan hukum seberat ini sudah ada, mengapa para pelaku penyadapan masih bisa bebas selama tiga tahun?
Dampak Nyata terhadap Ekosistem Hutan
Prof. Suwari menegaskan bahwa penyadapan getah pinus di TNGC bukan hanya sekadar kerugian materi, tetapi juga membahayakan lingkungan hidup. Ia menilai bahwa pendekatan zona tradisional tidak sesuai dengan sejarah tata kelola Gunung Ciremai. Dari zaman dahulu, tidak ada catatan masyarakat setempat yang secara turun-temurun melakukan penyadapan getah pinus di wilayah tersebut.
“Siapa pun yang mencoba melegalkan praktik ini dengan alasan kearifan lokal, itu tidak boleh karena tidak ada dasar historis dari masyarakat adat Kuningan,” ujarnya.
Selain itu, regulasi yang jelas juga menyatakan bahwa pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) hanya diperbolehkan pada hutan lindung dan hutan produksi, dengan syarat tidak merusak lingkungan. Namun, TNGC memiliki status sebagai hutan konservasi, sehingga pemungutan HHBK tidak boleh dilakukan.
Dugaan “Main Mata” yang Memicu Kekhawatiran
Lebih memprihatinkan lagi, muncul dugaan kuat di kalangan masyarakat bahwa terdapat “main mata” antara pengusaha, pihak kementerian terkait, Balai TNGC, bahkan aparat kepolisian dalam menangani kasus penyadapan ini. Jika dugaan ini benar, maka akan menjadi pukulan telak terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan pengelola hutan.
Jika dugaan tersebut tidak benar, maka sudah seharusnya para terduga pelaku segera ditangkap dan ditindak tegas. Ini adalah panggilan darurat. Saatnya penegak hukum menunjukkan taringnya, membongkar sindikat penjarah pinus, dan mengembalikan kehormatan Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai benteng konservasi alam yang tak ternoda.