Kebijakan Tarif dan Dampaknya terhadap Ekonomi Amerika Serikat
Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump sejak awal masa jabatannya, yang diharapkan mampu melindungi industri dalam negeri, kini menunjukkan efek yang justru berlawanan dengan harapan. Banyak media telah melaporkan bahwa ekonomi AS mulai melambat, inflasi meningkat, dan penciptaan lapangan kerja mengalami penurunan drastis. Janji untuk menghidupkan kembali manufaktur dan memulihkan kejayaan pekerja kelas menengah kini bertemu dengan realitas pahit: biaya yang harus dibayar oleh masyarakat jauh lebih besar daripada keuntungan yang diraih oleh sebagian kecil industri.
Tarif tinggi terhadap impor, khususnya dari Tiongkok, awalnya diklaim akan memberikan dorongan bagi industri dalam negeri. Namun, berbagai studi ekonomi menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian dari Federal Reserve Bank of New York dan NBER mencatat bahwa hampir seluruh beban tarif justru ditanggung oleh konsumen domestik. Harga barang-barang manufaktur yang dikenai tarif naik rata-rata sekitar 1%, dan total biaya yang ditanggung rumah tangga Amerika diperkirakan mencapai 1,4 miliar dolar per bulan pada puncak periode perang dagang.
Inflasi yang Mengancam
Data terbaru dari Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan bahwa inflasi inti PCE—indeks yang menjadi rujukan utama The Fed—menembus 3% pada pertengahan 2025, sedangkan inflasi umum mencapai 2,6% pada Juni. Lonjakan harga ini terasa langsung di pasar ritel, mulai dari bahan makanan hingga peralatan elektronik, sehingga daya beli masyarakat melemah.
Sementara itu, penciptaan lapangan kerja yang selama ini menjadi kebanggaan Trump mengalami perlambatan signifikan. Sektor manufaktur, yang menjadi sasaran utama proteksi tarif, justru stagnan. Jumlah pekerja manufaktur pada pertengahan 2025 tercatat sekitar 12,9 juta orang, hanya sedikit lebih tinggi dibanding awal masa jabatan Trump.
Pengurangan Lapangan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi yang Tersendat
Oxford Economics memperkirakan bahwa perang tarif periode 2018–2020 telah menghilangkan sekitar 245 ribu pekerjaan secara langsung, sementara Wharton Budget Model mencatat potensi pengurangan bersih 142 ribu pekerjaan penuh waktu jika kebijakan tarif diperluas seperti sekarang. Laporan ketenagakerjaan terbaru bahkan menunjukkan revisi besar ke bawah untuk pertumbuhan lapangan kerja di bulan Mei dan Juni 2025, menandakan tren pelemahan yang serius. Tingkat pengangguran memang masih berada di kisaran 4,2%, tetapi laju penyerapan tenaga kerja baru jauh lebih rendah dibanding periode ekspansi sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi juga mulai tersendat. Produk Domestik Bruto kuartal kedua 2025 memang sempat tumbuh di kisaran 2,4–3%, namun para analis mengingatkan bahwa sebagian besar pertumbuhan itu bersifat teknis, didorong oleh perusahaan yang menimbun persediaan sebelum tarif baru berlaku. Konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung ekonomi AS, melemah karena daya beli tertekan inflasi. Investasi bisnis pun melambat karena ketidakpastian kebijakan perdagangan yang terus berubah. Secara keseluruhan, ekonomi AS di paruh pertama 2025 hanya tumbuh sekitar 1,5% dan berisiko melambat lebih lanjut jika tekanan harga dan penurunan ekspor berlanjut.
Realitas yang Berbeda dengan Klaim Politik
Kontradiksi antara klaim politik dan realitas ekonomi kini semakin terlihat. Trump sering menyatakan bahwa tarif tidak menyebabkan inflasi dan akan menghidupkan kembali pabrik-pabrik Amerika. Namun, data lapangan berkata lain. Harga barang yang diimpor naik, biaya produksi meningkat, dan keuntungan bagi manufaktur domestik hanya terasa sesaat. Lebih dari itu, tidak ada bukti signifikan bahwa investasi besar-besaran atau pemulangan produksi dari luar negeri terjadi secara permanen. Sebaliknya, rumah tangga Amerika menanggung biaya hidup yang lebih tinggi, sementara perekonomian nasional menghadapi risiko perlambatan yang berlarut-larut.
Ancaman Stagflasi dan Kebijakan yang Perlu Diperbaiki
Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan skenario stagflasi modern: inflasi tetap tinggi sementara pertumbuhan melemah. Dalam jangka panjang, kebijakan tarif yang digunakan sebagai alat politik populis berpotensi menjadi bumerang. Proteksi yang berlebihan tidak mendorong daya saing global, melainkan menciptakan tekanan bagi konsumen dan investor.
Pada akhirnya, keberhasilan ekonomi tidak diukur dari dinding tarif yang tinggi, melainkan dari kemampuan negara menciptakan pertumbuhan berkelanjutan, lapangan kerja berkualitas, dan stabilitas harga. Jika pemerintah tidak segera mengoreksi arah kebijakan dan mencari solusi yang lebih struktural, ongkos yang ditanggung masyarakat akan semakin besar, dan janji kebangkitan ekonomi ala Trump hanya akan menjadi pelajaran mahal tentang bahaya proteksionisme berlebihan.
Tanpa strategi industri yang jelas, investasi teknologi, dan diplomasi dagang yang cerdas, tarif hanya menjadi tembok rapuh yang lambat laun runtuh dihantam realitas global. Amerika Serikat bisa kehilangan momentum inovasi, sementara pesaing internasional memanfaatkan kekosongan kepemimpinan ekonomi untuk menguasai rantai pasok dunia.