Kolaborasi Pemerintah dan Daerah untuk Mengelola Sampah dengan Teknologi Waste to Energy
Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Malang Raya, truk-truk sampah dari berbagai kecamatan rutin mengangkut limbah rumah tangga dan plastik. Untuk mengelola limbah tersebut secara efisien, pemerintah mendorong penerapan teknologi Waste to Energy (WTE) yang mampu mengubah sampah menjadi energi terbarukan. Program ini dijalankan melalui kolaborasi antara Kementerian Lingkungan Hidup bersama Pemerintah Daerah Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu, dengan tujuan mengurangi volume sampah sekaligus memanfaatkan energi dari limbah.
Pada Senin, 18 Agustus 2025, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq memimpin rapat koordinasi bersama Wali Kota Malang, Wali Kota Batu, dan Bupati Malang di ruang Abu Dabi, Hotel Grand Mercure Malang. Dalam rapat tersebut, dibahas pengelolaan sampah melalui teknologi WTE di wilayah Malang Raya, yang mencakup Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu.
Menteri Hanif menyampaikan bahwa kegiatan ini membahas rangkaian kegiatan pengelolaan sampah dan upaya pemanfaatan waste energy. “Sesuai instruksi Bapak Presiden, saya ditugaskan menindaklanjuti peluang pengembangan teknologi Waste Energy. Potensi pembangunan fasilitas Waste to Energy di sini sangat besar,” ujarnya.
Hanif Faisol juga menyampaikan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, ia telah melakukan berbagai diskusi langsung dengan para pemangku kepentingan, termasuk Wali Kota Malang, Batu, dan Kabupaten Malang, untuk menilai kesiapan mereka mendukung program Waste to Energy (WTE).
Apa Itu Waste to Energy (WTE)?
WTE adalah teknologi yang mengubah limbah padat menjadi energi dalam bentuk listrik, gas, atau panas. Metode yang digunakan meliputi pembakaran massal (incineration), gasifikasi, serta pirolisis. Selain itu, limbah organik dapat diproses melalui anaerobik digestor untuk menghasilkan biogas, sedangkan gas metana dari TPA dapat dimanfaatkan melalui teknologi landfill gas capture.
Tujuan utama penerapan WTE adalah mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA dan sekaligus menghasilkan energi terbarukan dari fraksi limbah yang dapat diolah. Teknologi ini dirancang untuk mendukung pengelolaan sampah yang lebih efisien dengan memanfaatkan limbah yang sebelumnya tidak bernilai menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan kembali. Pendekatan tersebut juga memungkinkan pemanfaatan energi alternatif yang selaras dengan upaya pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Cara Kerja WTE
Proses WTE dimulai dari pengumpulan sampah di sumbernya, baik rumah tangga maupun industri, yang kemudian dibawa ke fasilitas pengolahan. Di fasilitas tersebut, sampah terlebih dahulu melalui tahap pemilahan untuk memisahkan bahan yang dapat didaur ulang, material berbahaya, dan limbah yang layak diolah menjadi energi. Langkah pemilahan ini penting agar proses selanjutnya lebih efisien dan aman.
Setelah pemilahan, sampah diproses menggunakan metode sesuai jenis dan karakteristiknya. Pembakaran massal (incineration) biasanya digunakan untuk sampah campuran dengan kadar air rendah, menghasilkan panas yang diubah menjadi uap dan menggerakkan turbin pembangkit listrik. Sementara itu, gasifikasi dan pirolisis diterapkan pada limbah padat tertentu untuk menghasilkan gas sintetis (syngas) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, sedangkan anaerobik digestor digunakan untuk limbah organik guna menghasilkan biogas.
Tahap akhir melibatkan penanganan residu, termasuk abu sisa pembakaran atau lumpur hasil proses digestor, yang harus dikelola sesuai standar lingkungan. Selain itu, instalasi WTE modern dilengkapi dengan sistem pengendalian emisi, seperti scrubber dan filter, untuk meminimalkan dampak terhadap kualitas udara.
Manfaat dan Tantangan WTE
WTE memberikan beberapa manfaat dalam pengelolaan sampah dan penyediaan energi alternatif, diantaranya:
- Teknologi ini dapat mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA, sehingga memperpanjang masa pakai lahan TPA.
- WTE mampu menghasilkan energi terbarukan, baik berupa listrik, gas, maupun panas yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal atau didistribusikan ke jaringan listrik umum.
- Pemanfaatan gas metana dari sampah membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, yang selama ini menjadi salah satu penyumbang pemanasan global.
Meski menawarkan sejumlah keuntungan, WTE juga memiliki tantangan yang perlu diperhatikan sebelum diterapkan secara luas, diantaranya:
- Pembangunan fasilitas WTE memerlukan investasi yang cukup besar untuk pengadaan teknologi dan sistem pengendalian emisi yang sesuai standar.
- Pemilahan sampah di sumber menjadi faktor kunci keberhasilan, karena tanpa pemilahan yang baik, proses WTE dapat menjadi tidak efisien atau menghasilkan emisi berlebih.
- Residu hasil pembakaran seperti abu dasar dan abu terbang (fly ash) perlu dikelola dengan baik untuk mencegah pencemaran lingkungan dan dampak terhadap kesehatan masyarakat di sekitar fasilitas pengolahan.
Adanya manfaat yang disertai tantangan, penerapan WTE perlu disertai dengan transparansi data emisi dan mekanisme pengawasan independen. Dengan mempertimbangkan manfaat dan tantangan tersebut, WTE dapat menjadi bagian dari strategi pengelolaan sampah yang terintegrasi jika direncanakan dengan matang dan sesuai regulasi.
Penerapan WTE menjadi salah satu strategi dalam mengatasi masalah sampah sekaligus menyediakan sumber energi terbarukan. Teknologi ini mampu mengurangi timbunan sampah di TPA serta memanfaatkan limbah menjadi listrik, gas, atau panas yang dapat digunakan kembali.
Keberhasilan penerapan WTE bergantung pada pemilahan sampah di sumber, penerapan standar pengendalian emisi, dan pengelolaan residu sesuai ketentuan lingkungan. Dengan perencanaan yang matang dan dukungan kebijakan yang tepat, WTE berpotensi menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah terpadu di berbagai daerah.