Penyitaan Tanah yang Tidak Dimanfaatkan: Aturan dan Proses yang Harus Diketahui
Seiring dengan perkembangan kebijakan pemerintah terkait tata ruang dan penggunaan lahan, masyarakat khususnya pemilik tanah mulai merasa khawatir akan adanya penyitaan tanah yang tidak dimanfaatkan. Isu ini tidak baru, namun kembali menjadi perbincangan akhir-akhir ini karena diberitakan secara luas. Pemilik tanah, terutama yang memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hingga hak milik, perlu memahami aturan ini agar tidak terkena konsekuensi hukum.
Aturan penyitaan tanah yang tidak digunakan selama dua tahun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Tujuan dari aturan ini adalah untuk menertibkan penggunaan lahan secara lebih adil dan produktif. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk mengambil alih hak kepemilikan, tetapi juga untuk mencegah spekulasi lahan serta memastikan bahwa lahan digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Kriteria Tanah yang Bisa Disita Negara
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu lahan bisa ditetapkan sebagai tanah terlantar. Berikut kriterianya:
-
Tidak Diusahakan Selama Dua Tahun
Lahan yang tidak digunakan sesuai rencana penggunaan yang disampaikan saat pendaftaran. Contohnya, lahan HGU yang tidak digunakan untuk perkebunan atau lahan HGB yang tidak dibangun sesuai peruntukan seperti perumahan atau pusat komersial. -
Tidak Ada Aktivitas Ekonomi atau Pembangunan
Tidak terdapat tanda-tanda aktivitas pembangunan, usaha, atau pemanfaatan dalam bentuk apapun selama dua tahun berturut-turut sejak pemberian hak atau sejak terakhir digunakan. -
Tidak Dipelihara
Lahan dibiarkan kosong, terbengkalai, atau tidak dijaga. Ini termasuk jika lahan dimanfaatkan oleh pihak lain secara ilegal dan pemilik membiarkannya tanpa upaya hukum. -
Pemilik Tidak Memberikan Penjelasan yang Valid
Saat dilakukan identifikasi dan inventarisasi oleh ATR/BPN, pemilik tidak mampu menjelaskan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan mengapa lahan tidak digunakan. -
Menjadi Permukiman Tanpa Izin
Tanah yang telah menjadi permukiman atau digunakan oleh masyarakat selama lebih dari 20 tahun tanpa hubungan hukum dengan pemegang hak juga dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar.
Prosedur Penetapan Tanah Terlantar
Proses penyitaan tanah tidak dilakukan secara mendadak. Berikut tahapan yang dilalui:
-
Inventarisasi dan Identifikasi oleh ATR/BPN
Pemerintah melakukan pendataan dan pengecekan ke lapangan terkait status pemanfaatan tanah. -
Pemberitahuan Resmi kepada Pemilik
Jika ditemukan indikasi lahan telantar, pemilik akan menerima surat pemberitahuan. -
Tiga Kali Surat Peringatan
Apabila tidak ada perubahan atau tanggapan dari pemilik, pemerintah akan mengirimkan surat peringatan secara bertahap sebanyak tiga kali. -
Penetapan sebagai Tanah Terlantar
Jika tetap tidak ada perubahan setelah surat peringatan ketiga, maka lahan akan ditetapkan secara resmi sebagai tanah terlantar. -
Pengambilalihan oleh Negara
Setelah status tanah terlantar ditetapkan, pemerintah berhak mengambil alih kepemilikan lahan tersebut dan mengalihfungsikannya untuk kepentingan umum atau redistribusi.
Kebijakan penyitaan tanah terlantar merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menata ulang penggunaan lahan di Indonesia secara adil dan produktif. Pemilik lahan disarankan untuk segera memanfaatkan atau mengelola tanah yang dimiliki sesuai peruntukannya agar tidak terkena sanksi berupa penyitaan. Dengan memahami aturan ini, masyarakat dapat lebih waspada dan siap menghadapi proses administratif yang berlangsung.