Penjatuhan Hukuman bagi Mantan Pejabat Pengadilan
Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, telah dihukum 12 tahun 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Arif terbukti bersalah dalam perkara suap yang diberikan kepada hakim untuk memperoleh putusan lepas terdakwa dalam kasus korupsi minyak goreng atau crude palm oil (CPO).
Pembacaan putusan dilakukan oleh ketua majelis hakim, Effendi, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 3 Desember 2025. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menerima suap yang dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan dakwaan alternatif kesatu subsidair.
Selain hukuman penjara, Arif juga dijatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban pembayaran uang pengganti senilai Rp 14.734.276.000 atau sekitar Rp 14,73 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Arif dapat disita dan dilelang. Jika terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup, maka akan diganti dengan hukuman 5 tahun penjara.
Majelis hakim meyakini bahwa Arif Nuryanta terbukti melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Faktor yang Memberatkan dan Meringankan Hukuman
Hukuman yang dijatuhkan kepada Arif dinilai memberatkan karena perbuatan terdakwa tidak mendukung komitmen negara dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, tindakan tersebut mencoreng nama baik lembaga yudikatif. Sebagai seorang penegak hukum, Arif diketahui melakukan korupsi dalam jabatannya, dan perbuatan tersebut bukanlah akibat dari kebutuhan, melainkan keserakahan.
Di sisi lain, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan meringankan. Salah satunya adalah bahwa terdakwa telah mengembalikan uang suap yang diterimanya. Selain itu, Arif masih memiliki tanggungan keluarga yang harus dipenuhi.
Dakwaan Jaksa Terhadap Arif Nuryanta
Jaksa sebelumnya menuntut Arif atas penerimaan suap dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. Ia diduga menerima uang sebesar Rp 15,7 miliar untuk mengatur putusan perkara tersebut.
Menurut jaksa, uang tersebut diterima saat Arif menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Suap ini diterima bersama dengan mantan Panitera Muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, serta majelis hakim perkara korupsi minyak goreng, yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
Dalam surat dakwaan, jaksa menjelaskan bahwa uang suap sebesar Rp 40 miliar dibagi antara para pelaku. Arif menerima bagian sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Tujuan dari Pemberian Suap
Hadiah atau janji tersebut diberikan agar putusan perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (minyak sawit mentah) dan turunannya dapat diputus dengan putusan lepas atau onslag van rechtsvervolging. Hal ini merupakan upaya untuk memengaruhi proses peradilan dan memperoleh keuntungan pribadi.


























































