Operasi Serengeti 2.0 Mengungkap Jaringan Kejahatan Siber Besar di Afrika
Pihak berwenang di berbagai wilayah Afrika baru-baru ini berhasil mengungkap jaringan kejahatan siber dan penipuan besar-besaran yang melibatkan ribuan pelaku. Operasi kolaboratif yang digelar selama tiga bulan, yaitu Juni hingga Agustus, telah menghasilkan penangkapan sebanyak 1.200 orang. Mereka diduga terlibat dalam serangan ransomware, penipuan online, serta pembobolan email bisnis (BEC).
Operasi tersebut diberi nama Serengeti 2.0 dan melibatkan partisipasi organisasi internasional seperti Interpol. Para penyidik menyatakan bahwa mereka berhasil memulihkan dana sebesar $97,4 juta atau setara dengan lebih dari Rp 1,5 triliun yang dicuri dari lebih dari 88.000 korban di berbagai belahan dunia.
Di Angola, polisi berhasil menutup 25 pusat penambangan mata uang kripto ilegal yang diduga dioperasikan oleh 60 warga negara Tiongkok. Selain itu, pihak berwenang juga menyita peralatan penambangan dan IT senilai lebih dari $37 juta (Rp 600 miliar) serta pembangkit listrik ilegal yang menyebabkan beban berlebih pada jaringan listrik negara tersebut. Pemerintah Angola berencana menggunakan peralatan yang disita untuk meningkatkan distribusi listrik di daerah-daerah yang rentan.
Di Zambia, polisi berhasil membongkar skema penipuan investasi besar-besaran yang menipu 65.000 korban hingga kehilangan sekitar $300 juta melalui platform mata uang kripto palsu. Sebanyak 15 tersangka ditangkap, dan barang bukti seperti domain, nomor ponsel, serta rekening bank yang terkait dengan penipuan tersebut turut disita.
Dalam penggerebekan terpisah di Lusaka, petugas juga berhasil menggagalkan jaringan dugaan perdagangan manusia dan menyita ratusan paspor palsu dari tujuh negara. Hal ini menunjukkan adanya ancaman lintas batas yang semakin kompleks.
Interpol sebelumnya telah merilis laporan yang menyatakan bahwa pertumbuhan teknologi di Afrika, terutama di bidang keuangan dan e-commerce, telah menciptakan peluang baru bagi para pelaku kejahatan siber. Namun, standar keamanan siber yang lemah membuat infrastruktur penting seperti bank dan lembaga pemerintah rentan terhadap serangan. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran data, kerugian finansial, serta gangguan dalam perdagangan.
Selain itu, bulan ini Interpol juga memberi peringatan bahwa Afrika Barat mulai muncul sebagai pusat kejahatan siber, mirip dengan tren yang terjadi di Asia Tenggara. Model kejahatan yang digunakan oleh kelompok kriminal adalah menjalankan atau membangun pusat-pusat penipuan besar dan mengeksploitasi pekerja dalam kondisi yang memaksa.
Pada bulan Juni, Nigeria menjatuhkan hukuman penjara kepada sembilan warga negara Tiongkok karena terlibat dalam sindikat yang merekrut pemuda Nigeria ke dalam skema penipuan daring. Duta Besar Tiongkok untuk Nigeria kemudian mengusulkan pengiriman kelompok kerja ke negara tersebut untuk menyelidiki kejahatan siber yang dilakukan oleh warga negara Tiongkok di wilayah tersebut.

























































