
Peran dan Tanggung Jawab Polisi yang Tercoreng
Seragam kepolisian seharusnya menjadi simbol dari kehormatan dan tanggung jawab. Namun, bagaimana jika simbol tersebut justru dijadikan komoditas? Kasus dua anggota Polri di Pekalongan yang menipu seorang pengusaha hingga Rp 2,65 miliar dengan janji meloloskan anaknya ke Akademi Kepolisian (Akpol) melalui “jalur khusus” bukan hanya sekadar kisah kriminal. Ini adalah potret keretakan moral di balik institusi yang seharusnya menegakkan hukum. Saat hukum diperdagangkan oleh penegaknya sendiri, maka yang rusak bukan hanya nama lembaga, melainkan makna keadilan itu sendiri.
Kisah ini menyentuh nalar dan nurani. Dua polisi, yang semestinya menjaga kepercayaan publik, justru menjual harapan. Uang miliaran berpindah tangan dengan keyakinan bahwa ada “kuota Kapolri”—sebuah istilah yang selama ini beredar di masyarakat, seolah menjadi rahasia umum tentang jalan pintas menuju seragam cokelat. Namun, seperti semua mimpi yang dibangun di atas kebohongan, kenyataan akhirnya datang dengan pahit: sang anak gagal seleksi, uang raib, dan keadilan harus menempuh jalan panjang menuju ruang sidang.
Budaya “Bisa Diatur” yang Masih Membekas
Praktik semacam ini adalah bayangan panjang dari budaya “bisa diatur” yang masih membekas di banyak institusi publik. Di ruang sosial kita, kejujuran sering dikalahkan oleh koneksi, dan meritokrasi oleh amplop. Jalur cepat, calo, dan permainan di balik meja telah menjadi bagian tak tertulis dari cara masyarakat berinteraksi dengan birokrasi. Padahal, setiap kali kita membenarkan praktik ini, kita sedang memperkuat dinding ketidakadilan yang menutup jalan bagi mereka yang berjuang jujur.
Sistem yang Menyuburkan Korupsi Rekrutmen
Dalam konteks rekrutmen aparat, kebocoran integritas di pintu awal ini fatal. Sebab, mereka yang masuk dengan cara curang, akan cenderung menegakkan hukum dengan cara curang pula. Maka, reformasi kepolisian tak cukup berhenti pada seruan moral atau sidang etik. Ia harus menyentuh sistem yang memungkinkan korupsi rekrutmen tumbuh: dari pengawasan, keterbukaan informasi, hingga pendidikan publik yang menegaskan bahwa kehormatan tidak bisa dibeli.
Polri kini memikul beban ganda—mengadili dua anggotanya dan sekaligus mengadili bayangan buruk tentang dirinya sendiri. Ini momentum untuk membuktikan bahwa reformasi bukan sekadar slogan “Presisi” di atas kertas, melainkan keberanian mengoreksi luka dari dalam. Transparansi dalam setiap tahap rekrutmen, publikasi hasil seleksi, dan sanksi terbuka terhadap pelanggar adalah langkah minimum untuk memulihkan kepercayaan publik.
Peran Masyarakat dalam Penyebab Korupsi
Namun, masyarakat pun harus berkaca. Selama masih ada yang bersedia membayar untuk jalur cepat, maka akan selalu ada yang mau menjual pintu masuknya. Tidak semua korban sepenuhnya polos; sebagian memilih mengabaikan aturan karena percaya pada mitos “orang dalam.” Mereka merasa berhak karena sudah “berkorban” dengan uang. Padahal, korupsi tidak lahir dari satu pihak, tapi dari persekongkolan antara yang menjual kekuasaan dan yang membeli peluang.
Kita sering menuntut kejujuran dari aparat, tapi enggan mempraktikkan kejujuran dalam diri kita sendiri. Barangkali di situlah akar persoalannya: bangsa ini terlalu lama mencari keadilan di luar, padahal penyakitnya bersemayam di dalam.
Harga Kejujuran di Negara Ini
Murahnya harga kejujuran di negara ini menjadi pertanyaan besar. Bagaimana kita bisa membangun sistem yang adil jika kejujuran dijual dan dibeli? Kasus Rp 2,65 miliar itu menjadi simbol yang lebih besar: simbol tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, memaknai kehormatan. Seberapa murah harga kejujuran di negeri ini? Seberapa tinggi nilai integritas sebelum ia dilelang oleh jabatan dan kekuasaan?
Penegakan hukum bukan hanya soal menangkap yang bersalah, tetapi juga soal berani membersihkan cermin yang retak. Karena yang kita butuhkan bukan seragam yang baru, tetapi hati nurani yang kembali utuh. Bila bangsa ini ingin berdiri tegak di hadapan dunia, maka ia harus lebih dulu menegakkan kebenaran di dalam seragamnya sendiri. Dan bila Polri berani menjadikan kasus ini titik balik, bukan sekadar peristiwa, maka sejarah akan mencatat bahwa kejujuran masih punya tempat di negeri ini — bahwa nurani belum sepenuhnya padam di balik seragam.
Integritas yang Harus Dipertahankan Setiap Hari
Tajuk rencana ini menegaskan: integritas bukan kebetulan, melainkan pilihan yang harus dijaga setiap hari. Seragam bisa dijahit kembali, tapi kepercayaan hanya bisa dijaga dengan hati yang bersih. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa keadilan dan kejujuran tetap menjadi fondasi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh aparat negara.



 
                                
















































 
                                








