Keluarga aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, mengungkapkan bahwa mereka menerima ancaman dan intimidasi selama proses hukum yang menimpa alumni Universitas Gadjah Mada tersebut. Syahdan bersama tiga aktivis lainnya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan provokasi dalam demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025.  
Kakak ipar Syahdan, Sigizia Pikhansa, menyampaikan bahwa ancaman itu sudah terjadi sebelum Syahdan ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada awal September 2025 lalu. “Pada Agustus sebelum Syahdan ditangkap, Syahdan dan istrinya sempat menjadi korban doxing, sehingga identitas pribadi mereka tersebar di media sosial,” ujar Sigizia saat ditemui di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Jakarta Pusat, pada Ahad, 26 Oktober 2025.
Ancaman tidak berhenti sampai di situ. Bahkan setelah Syahdan ditahan, keluarganya masih menerima ancaman. Menurut Sigizia, keluarga pernah menerima paket COD dari orang tak dikenal senilai Rp 4 juta. Selain itu, mereka juga menerima belasan hingga puluhan telepon dari orang tak dikenal setelah keluarga bercerita tentang gerakan mogok makan yang dilakukan Syahdan saat ditahan.
Selain itu, anak Syahdan yang masih balita juga menjadi korban ancaman. Sigizia menjelaskan bahwa ada orang tak dikenal membuat akun media sosial atas nama anak Syahdan. Di akun tersebut, foto-foto anak Syahdan diunggah tanpa persetujuan keluarga.
“Kami tidak tahu dari mana foto-foto itu didapatkan, karena kami tidak pernah mengunggahnya di media sosial mana pun,” kata dia.
Akibat ancaman yang terjadi, istri Syahdan sempat harus dibawa ke rumah aman selama beberapa waktu. Situasi ini juga membuat keluarga Syahdan sering merasa was-was dan tidak aman.
Menurut Sigizia, penangkapan Syahdan secara sewenang-wenang tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Dampaknya bukan hanya psikologis, tetapi juga fisik dan finansial.
“Bahkan ayah Syahdan kini sedang dirawat di rumah sakit karena khawatir akan nasib anaknya,” ujar dia.
Syahdan Husein dan tiga aktivis lainnya, yaitu Delpedro Marhaen, Khariq Anhar, dan Muzaffar Salim, ditangkap oleh polisi atas tuduhan provokasi dalam demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025. Mereka dituduh telah menghasut massa untuk bertindak rusuh saat unjuk rasa.
Mereka dikenakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Kuasa hukum mereka, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), sebelumnya telah melakukan gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka mereka. TAUD menyatakan bahwa penetapan para aktivis tersebut tidak sah sehingga harusnya batal demi hukum.
Gugatan praperadilan Delpedro terdaftar dengan nomor perkara 132/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. Termohon dalam gugatan ini adalah Direktur Reserse Siber dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Gugatan tersebut dijadwalkan diputus pada Senin, 27 Oktober 2025 besok.



 
                                

















































 
                                








