Perbedaan antara Perintis dan Pewaris dalam Dunia Bisnis
Seorang anak berusia sembilan tahun, Ryu Kintaro, viral di media sosial karena berbicara dengan penuh semangat tentang pengalamannya menjadi perintis usaha. Ia menggambarkan prosesnya sebagai sesuatu yang “seru”, meski di baliknya ada kesulitan dan kerja keras. Namun, komentar dari banyak orang dewasa justru menunjukkan bahwa mereka merasa tidak nyaman melihat hal ini.
Banyak dari mereka adalah para perintis sejati yang memahami betapa beratnya perjalanan untuk membangun bisnis dari nol. Mereka merasa bahwa Ryu memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh mereka—sebuah jaring pengaman yang kuat. Hal ini membuka diskusi penting tentang konsep sukses, kerja keras, dan privilese di era modern.
Struktur Sosial yang Tidak Berubah
Jika kita melihat dari perspektif sejarawan Yuval Noah Harari, fenomena ini bukanlah hal baru. Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat terbagi menjadi dua kelas utama: bangsawan dan rakyat jelata. Anak bangsawan mewarisi tanah, kastil, dan status, sementara anak petani atau pengrajin harus memulai dari nol.
Di abad pertengahan, keberhasilan seorang bangsawan bergantung pada kemampuan mengelola warisan, sedangkan bagi rakyat jelata, setiap kegagalan bisa berarti kehilangan segalanya. Meskipun zaman telah berubah, psikologi dasar tetap sama. “Tanah warisan” kini berupa modal, jaringan bisnis, dan reputasi keluarga.
Risiko yang Berbeda untuk Perintis dan Pewaris
Bagi seorang Pewaris modern, risiko adalah eksperimen. Kegagalan dianggap sebagai data dan pelajaran yang mahal namun terbayar. Ini seperti R&D (Research & Development) pribadi yang didukung oleh jaring pengaman. Namun, bagi Sang Perintis, risiko adalah pertaruhan eksistensial. Kegagalan bisa berarti tumpukan utang dan tekanan psikologis yang sangat berat.
Data dari U.S. Bureau of Labor Statistics (BLS) menunjukkan bahwa sekitar 50 persen bisnis baru gagal bertahan melewati lima tahun pertama. Bayangkan tekanan yang dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki “rencana B”. Ucapan “merintis itu seru” dari seseorang yang punya backup tak terbatas terasa menohok karena kebenaran itu menyakitkan karena tidak utuh.
Mengubah Pandangan Terhadap Privilese
Namun, opini kita harus berbelok dari sekadar menyalahkan takdir. Tidak ada yang salah menjadi Pewaris, dan tidak ada jaminan sukses bagi mereka. Sejarah bisnis dipenuhi kisah generasi ketiga yang menghancurkan, bukti bahwa warisan tidak otomatis mentransfer kompetensi. Di sisi lain, banyak perintis hebat lahir dari ketiadaan. Karena tidak punya apa-apa, mereka menjadi sangat kreatif dan lapar.
Arena persaingan hari ini telah mencairkan batas kaku antara Perintis dan Pewaris. Batas-batas itu kini meruncing pada bagian modal sebagai jaring pengaman. Oleh karena itu, bagi kita para perintis, kunci untuk selamat bukan lagi sekadar “kerja keras”, melainkan kesehatan mental dalam berwirausaha.
Pentingnya Mental Bertumbuh dalam Berwirausaha
Ini menuntut adanya mental bertumbuh (growth mindset) untuk memandang kegagalan sebagai umpan balik; kemampuan menerima realitas pasar; kesiapan untuk berkompromi pada visi awal; dan yang terpenting, kemampuan berkolaborasi untuk membangun jaring pengaman sendiri melalui kemitraan.
Mari kita letakkan kembali kontroversi Ryu Kintaro pada tempatnya. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap kisah sukses, ada konteks dan privilese. Arena wirausaha pada akhirnya tidak bertanya, “Siapa orang tuamu?”. Ia bertanya, “Masalah apa yang bisa kau selesaikan untukku?”.
Namun, kita sebagai manusia harus cukup bijak untuk mengakui bahwa bagi sebagian orang, perjalanan untuk menemukan jawaban itu jauh lebih terjal, sunyi, dan tanpa jaring pengaman.