Kasus Dokter Palsu di Bantul: Penipuan yang Menyentuh Hati dan Kekayaan
Kasus dokter palsu di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini menjadi perhatian masyarakat. Seorang wanita yang menyamar sebagai dokter berhasil menipu korban hingga mengalami kerugian lebih dari setengah miliar rupiah. Aksi penipuan ini dilakukan oleh FE, seorang lulusan SMA yang tidak memiliki ijazah kedokteran tetapi nekat membuka praktik medis.
Awal Terungkapnya Kasus
Kasus ini bermula ketika seorang warga, J, mencari terapi untuk anaknya pada Juni 2024. Tante korban menunjukkan tempat terapi yang berada di Pedusan, Kalurahan Argodadi, Kapanewon Sedayu. Di sana, FE menjalankan praktik tanpa papan nama atau informasi resmi. Korban mendaftar dalam program terapi dan diminta membayar Rp15 juta. Setelah beberapa minggu, FE memberitahu bahwa anak korban terkena Mythomania dan meminta biaya tambahan sebesar Rp7,5 juta.
Penipuan yang Semakin Berat
Pada Agustus 2024, korban diminta untuk deposit jaminan pengobatan sebesar Rp132 juta. November 2024, korban diarahkan untuk membayar biaya pengobatan psikologi senilai Rp7,5 juta dan Rp46,950 juta uang yang sudah ditalangi tersangka. Akhirnya, korban menyerahkan sertipikat tanah atas nama ayah kandung korban sebagai jaminan kepada tersangka. Pada Februari 2025, FE memvonis korban menderita penyakit HIV dan menawarkan pengobatan dengan biaya Rp320 juta. Vonis itu didapatkan dari hasil sampel pengambilan darah korban sekeluarga pada waktu pemeriksaan anak korban. Pada Juli 2025, korban diminta untuk membayar Rp10 juta dengan iming-iming deposit anak korban turun/cair.
Kebenaran Terungkap
Kecurigaan J memuncak. Ia memeriksakan anaknya ke RS PKU Muhammadiyah Gamping dan hasilnya negatif HIV. Ia juga mengecek status FE di RSUP dr. Sardjito, tempat FE mengaku bekerja. Hasilnya, FE tidak tercatat sebagai tenaga medis. Laporan pun dibuat ke Polres Bantul. Pada 5 September 2025, polisi menangkap FE di lokasi praktiknya. Barang bukti berupa baju dokter, telepon, dan vitamin disita. Dalam pemeriksaan, FE mengaku hanya lulusan SMA dan belajar dari internet. Ia mengaku terobsesi menjadi dokter sejak kecil.
Modus dan Pengakuan
Menurut Kasat Reskrim Polres Bantul, AKP Achmad Mirza, FE pernah mengambil sampel darah, menyuntik, menginfus, dan memberikan obat langsung tanpa resep. Ia membeli peralatan medis dari apotek dan menjalankan praktik tanpa izin resmi. Uang hasil penipuan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. “Tersangka dikenal sebagai dokter karena memiliki usaha bimbingan belajar. Warga percaya ia benar tenaga medis,” ujar Mirza.
Jerat Hukum Menanti
FE kini mendekam di Polres Bantul dan dijerat Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara. Ia juga dikenai Pasal 439 dan 441 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan ancaman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Tips untuk Masyarakat
Fenomena dokter gadungan menjadi alarm bagi masyarakat untuk lebih waspada. Berikut lima hal penting yang bisa dilakukan:
- Selalu verifikasi identitas dokter melalui situs resmi KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) atau IDI.
- Periksa lokasi praktik apakah terdaftar sebagai klinik atau fasilitas kesehatan resmi.
- Jangan mudah percaya pada diagnosis atau terapi yang tidak disertai bukti medis dan rekam medis resmi.
- Laporkan segera ke aparat jika menemukan praktik mencurigakan.
- Kasus FE menunjukkan bahwa di era informasi digital, pengetahuan medis tidak bisa disamakan dengan kompetensi dokter. Keamanan pasien hanya bisa dijamin melalui tenaga medis yang sah dan berlisensi.


























































