Kritik terhadap Penanganan Tindakan Intoleransi oleh Polisi
SETARA Institute, sebuah lembaga kajian kebijakan yang berfokus pada isu-isu sosial dan hukum, memberikan kritik terhadap penggunaan pasal tertentu oleh pihak kepolisian dalam menangani kasus tindakan intoleransi. Dalam beberapa insiden pembubaran kegiatan ibadah atau pelarangan keagamaan, polisi hanya menggunakan pasal perusakan sebagai dasar penuntutan.
Menurut Azeem Marhendra Amedi, seorang peneliti dari SETARA Institute, pihak kepolisian sebenarnya memiliki alternatif pasal lain yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku tindakan intoleransi. Ia menjelaskan bahwa Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini dapat diterapkan untuk menangani tindakan intoleran. “Pasal 175 KUHP mengatur tentang tindakan perintangan kegiatan ibadah. Klausul dalam pasal tersebut memungkinkan tindakan menghalangi seseorang untuk beribadah dapat dikenakan hukuman pidana,” ujarnya.
Azeem menambahkan bahwa jika terbukti niat pelaku merintangi ibadah karena menganggap aktivitas keagamaan tersebut meresahkan, maka bisa terpenuhi mens rea atau niat jahatnya. Hal ini menjadi dasar kuat untuk menuntut pelaku secara hukum.
Ia menilai bahwa pihak kepolisian seharusnya tetap menerapkan Pasal 175 KUHP dalam kasus pembubaran kegiatan ibadah seperti di Sukabumi dan Padang. “Dengan demikian, bisa diterapkan hukuman yang lebih tepat selain pasal penggunaan kekerasan,” katanya.
LBH Padang juga menyatakan bahwa pihak kepolisian dapat menggunakan delik umum seperti Pasal 156 KUHP dan Pasal 175 untuk memproses pelaku tanpa harus menunggu laporan korban. Menurut mereka, persekusi dan kekerasan terhadap kelompok agama merupakan pelanggaran pidana yang serius.
Insiden Pembubaran Kegiatan Ibadah yang Berulang
Beberapa waktu lalu, terjadi kembali kasus pembubaran kegiatan ibadah. Kasus pertama adalah pembubaran retret pelajar Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Saat itu, Kepolisian Resor Sukabumi menangkap dan menahan delapan orang pelaku. Mereka ditetapkan dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama serta Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.
Sementara itu, kasus terbaru terjadi di Padang, Sumatera Barat. Rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah dirusak dan ibadah pelajar yang sedang berlangsung dibubarkan. Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Brigjen Solihin, mengatakan bahwa polisi telah menahan sembilan orang yang diduga terlibat dalam penyerangan dan perusakan rumah doa. “Siapa yang berbuat akan bertanggung jawab,” ujar Solihin.
Meskipun begitu, hingga saat ini belum diketahui apakah kesembilan orang yang ditahan tersebut telah dijadikan tersangka. Selain itu, pihak kepolisian juga belum mengungkapkan pasal yang kemungkinan akan disangkakan kepada para pelaku.
Rekomendasi dan Harapan
Dari berbagai insiden yang terjadi, penting bagi pihak kepolisian untuk lebih cermat dalam memilih pasal yang sesuai dengan sifat tindakan yang dilakukan. Penggunaan pasal yang tepat tidak hanya akan memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi contoh bagi masyarakat luas bahwa tindakan intoleransi tidak akan dibiarkan begitu saja.
Selain itu, perlunya transparansi dalam proses penyelidikan dan penuntutan sangat penting agar publik dapat mempercayai sistem hukum yang ada. Dengan demikian, keamanan dan harmoni antarumat beragama dapat terjaga dengan baik.